Kamis, 26 Juli 2018

Mengurus Visa Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Vientiane, Laos


“Maaf mas, sekarang di sini sudah tidak menerima pembuatan visa ekspres. Visa tercepat bisa diperoleh dalam waktu 4 hari kerja.”

Begitulah kira-kira yang diucapkan oleh petugas di pusat Visa untuk RRT. Saya pun harus mengurungkan niat untuk ke RRT karena saya tidak ada waktu lagi untuk mengurusnya di Jakarta karena saya sudah memiliki tiket penerbangan ke Bangkok pada hari selasa, sedangkan jika saya mengurus visa pada hari itu, saya akan mendapatkannya hari kamis. Saya pun melihat harga tiket ke Bangkok hari kamis, terpikir oleh saya untuk merubah jadwal, tetapi harga yang ditampilkan sangatlah mahal, karena mendekati hari tahun baru Thailand atau biasa dikenal Songkran. Saya pun mengurungkan niat untuk merubah jadwal dan mencoba peruntungan pembuatan visa di Thailand.

Saya pun berniat mengurus pembuatan visa di pusat aplikasi Visa RRT di Bangkok (di beberapa negara, pembuatan visa RRT dilimpahkan ke pusat pengurusan visa, bukan ke kantor kedutaan, terutama untuk negara-negara dengan penduduk besar atau negara-negara yang maju). Baru sadar bahwa ketika Songkran, Thailand memberlakukan hari libur selama 10 hari. Sekejap itu pula saya lemas takberdaya, dan mulai mengurungkan niat untuk berkunjung ke RRT. Saya pun mengubah rencana saya, menjadi perjalanan takterencana. Lupa sudah rencana untuk berpergian mengunjungi negeri tirai bambu. 

Teman lokal saya, orang Thailand, yang sedang mulai bosan dengan kehidupan Bangkok, layaknya saya sudah jenuh dengan kehidupan di Jakarta, mengajak saya berkunjung ke daerah lain di Thailand. Saya pun mengiyakan, dan munculah ide untuk berkeliling di Thailand Selatan. Setelah sekitar dua minggu berkelana, saya kembali ke Bangkok. Karena saya belum ingin pulang ke Indonesia, saya pun memutuskan untuk ke Khon Kean, salah satu kota di timur laut Thailand karena saya sempat mengunjungi kota ini pada tahun 2012 lalu, dan memiliki kenangan tersendiri dengan kota ini. Ketika saya sampai di Khon Kaen, saya disambut oleh udara panas khas daratan Thailand. Belum selesai saya menggerutu mengenai cuaca panas, tetiba malam harinya Khon Kaen dilanda hujan deras. Saya pun bergegas melihat ramalan cuaca, dan benar saja apa yang saya khawatirkan, sampai dua minggu ke depan kawasan timur laut akan dilanda hujan seharian. Saya pun resah mengenai rencana perjalanan ini yang semakin amburadul. Saya memutuskan untuk tinggal sampai beberapa hari kedepan di Khon Kaen sembari menunggu keputusan melanjutkan perjalanan.

Di malam yang dingin ditemani rintik-rintik gerimis, saya akhirnya memutuskan untuk ke Vientiane, Laos dan keinginan untuk berkunjung ke RRT muncul kembali. Perjalanan melintasi batas negara ini hanya ditempuh selama tiga jam saja menggunakan bus yang memang dikhususkan untuk rute ini. Sempat gerimis setelah meninggalkan terminal, cuaca menjadi lebih bersahabat searah saya meninggalkan negeri Gajah Putih ini. Sesuai yang dijadwalkan, bus sampai di terminal kota Vientiane tepat waktu. Sedikit terkejut karena cuaca yang teramat panas, tidak sesuai dengan ramalan cuaca di komp jaringan yang mengatakan bahwa kota ini akan terguyur hujan. Sedikit menggerutu sembari berjalan menyusuri jalanan kota Vientiane yang masih relatif sepi dan di bawah sinaran matahari, saya menuju ke tempat tinggal saya di kawasan padat para pelancong berbajet rendah atau backpacker. Saya sengaja mengunjungi kota Vietiane di akhir pekan karena memiliki niat untuk menikmati kota dan hari seninnya ke kedutaan RRT untuk melamar visa.

Pada minggu malam, saya berhasil mendapatkan beberapa dokumen yang harus saya lengkapi sesuai dengan informasi-informasi yang saya peroleh dari berselancar di dunia maya melalui pengalaman-pengalaman bloggerlainnya yang pernah mendapatkan visa ini. Beragam pengalaman, mulai dari yang sangat mudah hinga dipersulit pun saya temui, tetapi tidak meragukan saya untuk melamar visa ini. 

Berikut syarat-syarat yang harus saya sertakan di lamaran visa saya hasil dari berselancar didunia maya:
1.     Foto 4X6 Berwarna (terbaru)
2.     Tiket keberangkatan menuju Tiongkok (dari informasi masih simpang siur, apakah hanya satu arah apa pergi-pulang)
3.     Bukti pemesanan penginapan di Tiongkok

Terlihat sangat mudah sekali, tidak serumit apa yang saya lakukan di Jakarta. Tetapi, saya mulai kebingungan ketika harus mendapatkan tiket penerbangan karena memang saya berencana masuk ke RRT melalui jalur darat dan sangat tidak memungkinkan untuk saya menggunakan tiket bus. Namun, dari berbagai informasi yang saya dapat, ada beberapa yang berhasil mendapatkan visa ini dengan bukti pemesanan tiket bus yang bisa diperoleh di berbagai agen perjalanan di kota Vientiane. karena saya tidak mau ambil risiko, saya pun berusaha mendapatkan tiket pesawat saya menggunakan dummy ticketatau tiket yang telah diterbitkan oleh maskapai tetapi statusnya masih pemesanan (sudah mendapatkan kode pemesanan dari maskapai( karena belum melakukan pembayaran. Syarat ini cukup mudah diperoleh karena kita tinggal menuju ke agen-agen perjalanan dimana saja, kemungkinan besar mereka bisa membuat  dummy ticketini. Karena sudah terlalu larut dan tidak memungkinkan mengunjungi agen perjalanan, saya mulai panic untuk mendapatkan syarat ini. Ketika di Jakarta, saya menggunakan dummy ticketyang diperoleh dari maskapai Thai Airways yang sangat mudah karena ada pilihan melakukan pembayaran di kantor sehingga tiket akan dikirimkan melalui surel dan kita telah memiliki kode pemesanan. Namun, pilihan ini ternyata tidak bisa dinikmati jika penerbangan dimulai dari Laos karena pilihannya hanya melakukan pembayaran dengan kartu kredit/debit. Kepanikan mulai naik dan hal ini pula yang membuat saya kembali menajdi lebih nekad dengan membeli tiket pesawat bukan dari Vientiane, tetapi dari Bangkok (dengan pilihan yang sama, membayar di kantor).

Akhirnya semua persyaratan terpenuhi. Hari ini hari Senin, tanggal 31 April 2018 dan besoknya adalah hari buruh internasional (1 Mei). Hari buruh adalah hari libur nasional di Laos dan juga RRT sehingga kemungkinan saya akan mendapatkan visa di hari berikutnya, hari Rabu. Hari senin di Vientiane cukuplah ramai dan sibuk, pegawai-pegawai dan kegiatan ekonomi sudah dimulai. Saya pun mencatak semua persyaratan di hostel tempat saya menginap (karena baik hati, mereka memberikan jasa pencetakan beberapa lembar kertas tanpa biaya sepeserpun). Saya pun bergegas menuju Kedutaan menggunakan bus umum. Cuaca saat itu sangat terik dan panas. Saya harus jalan kaki sekitar 500m dari pemberhentian bus. Saya sedikit tergesa-gesa karena jam sudah menunjukkan pukul 11 siang dan kedutaan tutup pada pukul 12 siang. Saya akhirnya sampai di Kantor kedutaan 10 menit berselang dan saya terkejut karena kedutaan tutup pada hari itu. Usut punya usut, ternyata di RRT, tanggal 31 april merupakan hari libur juga. Saya pun lemas tadbedaya di depan kantor karena saya harus tinggal lebih lama lagi di Vientiane. untungnya (dan anehnya) kantor pengurusan visa akan buka pada tanggal 1 mei. Saya pun mempersiapkan untuk hari esok. Sebagai informasi, jika kita melamar visa ke RRT pagi hari, kita bisa mendapatkan visa kita di sore harinya dengan biaya 50 USD.

Saya pun kembali lagi ke kantor kedutaan, kali ini dengan jalan kaki dari pusat kota Vientiane (untuk menghemat biaya). Perjalanan 4km ini saya tempuh dengan waktu satu jam saja. Dan kantor kedutaan sudah buka dan lumayan banyak pelancong dari Laos dan dari negara lain yang sudah emngantri. Saya pun meminta borang untuk lamaran visa dari loket. Ada dua loket, 1 loket untuk pengurusan visa (meminta borang dan memberikan semua dokumen) dan satu lagi mengurus masalah warga negara RRT yang tinggal di Laos. Saya pun mengisi semua detail sesuai pertanyaaan dan segera menyerakhkan ke loket. Sangat mudah sekali, tidak dipertanyakan keabsahan dokumen-dokumen saya. Petugas memeriksa bukti penerbangan saya (saya memesan penerbangan Bangkok-Chengdu pp) dan pemesanan hotel di Chengdu pula untuk waktu tujuh hari. Sempat beliau memberi tanda warna ke jadwal dan saya diberikan kertas slip pembayaran ke Bank ICBC (yang terletak di kota). Saya pun meminta jasa ekspres, satu hari jadi. Jasa ini tersedia dengan biaya 50 USD, tetapi Bank ICBC (dan semua bank di Laos) tutup pada hari ini Karena libur sehingga saya pun harus menunggu satu hari lagi di kota Vientiane. 

Esok harinya saya sudah berkemas dan sudah niat untuk menuju ke Thailand lagi setelah mendapatkan visa (jikapun ditolak, saya tetap akan ke Thailand). Saya menuju ke Thailand lagi karena sudah sedikit bosan dengan Laos dengan cuaca yang tidak menentu sehinga pada malam hari sebelumnya saya memutuskan untuk ke Yangon, Myanmar melaui Bangkok esok hari. Saya bergegas ke ICBC, dan saya pun memesan tuk-tuk, semacam bajaj, untuk mengantarkans aya ke Bank kemudian ke kedutaan dan ke terminal bus. Saya membayarnya dengan 50 ribu kip atau sekitar 80 ribu rupiah. Saat menuju ke ICBC, Mereka menerima pembayaran dengan mata uang kip, yuan, atau dollar Amerika. Karena saya tidak memiliki uang tunai waktu itu, saya disarankan ke mesin ATM ICBC. Setelah saya coba berkali-kali, kartu saya tidak berhasil mengeluarkan uang. Saya sempat takut jika kartu saya diblokir lagi oleh Bank karena kesalahan saya seperti waktu di Korea. Sempat bingung saya pun menghampiri petugas dan mengutarakan keluhan saya. Ternyata, ATM ICBC hanya menerima kartu dengan logo UNIONPAY saja, mastercard dan visa, apalagi ATM Bersama, tidak diterima. Akhirnya resah ini hilang dan saya dianjurkan untuk mengambil uang di ATM kantor sebelah, jalan kaki 2 menit. Akhirnya, semua proses lancar menuju ke kedutaan untuk mengambil. Ternyata kedutaan juga sudah lebih ramail dari hari kemarin. Karena cuma mengambil paspor saya saja, saya tidak perlu ikut menganti dan tinggal memberikan bukti pembayaran visa dari ICBC dan slip yang diberikan sebelumnya, saya mendapatkan visa saya ke RRT. Senang sekali hati ini mendapatkan tempelan secarik stiker di paspor yang membuat saya bisa berkunjung kr RRT. Sopir tuk-tuksudah menunggu dan segera mengantarkan saya ke terminal bus untuk mengejar bus ke Udon Thani pada pukul 11 siang. Akhirnya sampai tepat waktu dan saya melanjutkan perjalanan saya. Visa RRT ini memang sangat menguras tenaga, pikiran, dan waktu.

Berikut syarat yang saya berikan ke kedutaan RRT untuk Laos:
1.     Pas foto ukuran 4x6 dua lembar
2.     Tiket pp (Bangkok-chengdu) dengan Thai Airways (dummy booking)
3.     Bukti pemesanan hotel melalui booking.com (bayar di tempat) 
4.     Mengisi formulis yang bisa diperoleh di loket
5.     Pembayarn 50 USD untuk jasa ekspres atau 25 USD untuk jasa biasa (4 hari kerja) dimana ini lebih murah dibanding jika kita mengajukan lamaran di Jakarta karena ada biaya pemrosesan yang dibebankan ke kita untuk agen visa.

Alamat:  
Chinese Embassy in Vientiane, Laos. Wat Nak Road. Sisattanak. 
P.O.Box 898. Vientiane. Laos.

Sangat mudah ternyata andai kita sadar oleh hari kerja kedutaan. Ingat, kedutaan akan libur pada hari libur nasional negaranya dan negara yang diwakili, sehingga pastikan untuk selalu melihat ulang sehingga kejadian seperti saya bisa terhindarkan!

-->
Terima Kasih

Minggu, 26 Maret 2017

Terjebak di Bandara(naike) di Negombo, Sri Lanka part 2-selesai



Saya terkejut ketika sebanyak lima pria berwajah melayu menghampiri saya. Mereka adalah mas-mas yang saya temui sebelumnya saat saya ditolak untuk check in.
“Oh, mas yang tadi? Bagaimana? Jadi berangkat?” tanya saya kepada mereka. (Mereka masih di Bandara berarti ya ditolak juga untuk terbang).
Ga jadi mas. Kami semua ditolak untuk terbang. Lha, mas sendiri gimana?” tanya mereka
“Iya, Mas sama! Saya juga gagal terbang. Sini saja dulu mas istriahat sebentar!” Saya mengajak mereka untuk duduk-duduk di bangku Bandara. 

Ada lima pemuda lajang (meraka mengaku begitu) asal Medan, Sumatera Utara. Mereka hendak melakukan perjalanan ke Istanbul, perjalanan ke luar negeri perdana mereka. Mereka pun berujar,
“Iya mas, kami mau ke Turki mau melihat salju. Kami sudah mengumpulkan uang sejak berbulan-bulan yang lalu untuk mewujudkan perjalanan ini. Kami akhirnya membeli jaket-jaket tebal untuk musim dingin dan sepatu baru karena saya dengar kalau salju itu berarti dingin sekali. Padahal hotel sudah kami bayar lunas semua. Saya bingung mau bagaimana ini. Selain itu saya juga tidak mempunyai uang saku yang banyak karena kami sudah mebayar ke agen perjalanan kami semua, mulai dari tiket hingga hotel. Jadi, kami membawa uang saku secukupnya saja untuk makan, transportasi, dan mungkin oleh-oleh.”

Mendengar curahan hati mereka saya merasa terharu dan bangga terhadapa mereka. Mereka masih terlihat tegar menghadapi masalah ini, masalah yang mungkin tidak akan pernah mereka bayangkan sebelumnya. Ke luar negri perdana, dan langsung terdampar di negara yang mereka sama sekali tidak tahu. Usut punya usut, dua dari lima pemuda ini bekerja di agen perjalanan yang memesankan tiket pesawat dan hotel.

para pemuda yang menemani saya
Saya pun menitipkan barang saya sejenak ke mereka karena saya akan ke kantor pihak Qatar Airways, di lantai dua. Saya berjalan santai dan mencoba untuk tegar. Setelah celingak-celinguk mencari ruangan yang mana, saya melihat sekumpulan orang. Saya pun menghampiri mereka. Ternyata, itu adalah ruangan Qatar Airways. Terlihat tidak kurang dari sepuluh orang mengalami nasib yang sama dengan saya. Saya pun mengikhlaskan kejadian ini dan segera turun untuk istirahat sebentar di bangku bandara.

“Bagaimana mas? Ada penyelesaian?” Tanya salah satu dari mereka. Saya pun menggelengkan kepala sebagai tanda jawaban tidak. Saya pun penasaran dengan masalah mereka, akhirnya saya beranikan bertanya,
“Kenapa sih mas kok dilarang terbang oleh Turkish Airlines?”
Saya lupa semua nama dari mereka, salah seorang yang paling dituakan menjawab, “Iya mas, katanya kami tidak memegang tiket balik ke Indonesia. Padahal kami sudah mendapatkan visa elektronik. Dan kami pun memegang tiket penerbangan pulang ke Medan dengan Saudia Airlines melalui Riyadh. Saya kurang paham mas kalau naik beda pesawat tidak boleh masuk di suatu negara, kami baru sekali jalan-jalan ke luar negri. Ke Singapura atau Malaysia saja belum pernah.” Mereka semakin mencurahkan uneg-uneg mereka.

Saya melihat kasus mereka sangat aneh sekali mengingat mereka sudah memegang tiket kembali ke Medan, walaupun dengan pesawat yang berbeda masih saja ditolak untuk masuk.
“Iya mas, kata mbak yang jaga konter tadi bilang harus naik Turkish Airlines, tidak boleh maskapai yang lain.” Mas tadi menambahkan.
Kembali semakin aneh kasus yang menimpa mereka. Kalau kasus saya, jelas dan saya memang yang bersalah. Tetapi, untuk kasus mereka sangat aneh sekali. Saya kembali berusaha menggali informasi dari mereka.

“Saya saja nih mas yang bisa berbahasa inggris, mereka semua kurang paham bahasa inggris. Bahasa inggris saya juga masih terbata-bata. Saya kurang terlalu paham apa yang dikatakan petugas konter tadi dan saya mau membela diri juga tidak tahu harus berkata apa.” Ujarnya
Wah, saya berasumsi bahwa mungkin terjadi kesalahpahaman karena faktor bahasa antara mereka. Mungkin saja mas ini salah mengartikan maksud petugas tadi serta petugas tadi juga tidak paham apa yang mas ini katakan. 

“Yowes Mas, ayo saya antarkan ke pihak Turkish Airlines, saya bantu untuk menjelaskan ke mereka biar masalahnya ada jalan keluarnya.” Paksa saya ke mereka.
Ga usah mas, nanti malah semakin besar masalahnya. Lagi pula ini sudah malam, sudah hampir jam dua belas. Kami juga sudah capek. Seharian di bandara.” Ujar mereka pasrah
Apa boleh dikata, saya pun menyetujui untuk istirahat di bandara dulu berharap esok hari mendapatkan wahyu atau ide untuk melakukan apa. Saya juga masih memikirkan nasib saya yang masih terombang-ambing juga, seperti mereka.

Kami berenam, akhirnya, memutuskan untuk beristirahat di lantai pojokan. Saya langsung saja bisa merebahkan badan dan langsung terlelap, seolah-olah acuh terhadapa masalah. Saya pun beranggapan bahwa mereka juga akan terlelap setelah hari panjang yang penuh drama, yang tidak kalah dari drama telenovela atau drama korea sekalipun.

Saya terbangun sekitar pukul setengah tiga pagi, badan merasa pegal-pegal dan lantai semakin dingin. Saya terkaget melihat mereka masih terjaga, masih melakukan pembicaraan yang saya tidak ketahui. Tak ingin mencampuri urusan mereka, saya kembali menarik selimut saya melanjutkan tidur.

“Mas-mas, bangun mas! Ga  mau Sholat Subuh dulu?” mereka membangunkanku.
“Oh, saya bukan muslim mas, jadi saya tidak Sholat. Kalau mau sholat berjamaah, silahkan. Barang-barang kalian taruh di sini saja, saya yang akan menjaga. Oiya, ada Masjid atau Musholla di Bandara?” saya menjawab mereka

Mereka sempat terdiam, dan saling melihat satu sama lain dan mereka baru sadar bahwa Sri Lanka bukanlah Indonesia yang bisa mendapatkan Musholla atau Masjid hampir di setiap pojokan. Mereka pun memutuskan untuk sholat di tempat saya tertidur, bergantian satu-satu agar tidak terlihat aneh di mata orang-orang.

Setelah mereka selesai menunaikan ibadah sholat Subuh, saya pun berinisiatif untuk menyewa kamar hotel murah di sekitar Bandara. Saya melihat gawai elektronik dan segecap mendapatkan kamar hostel dengan tiga kasur yang lokasi lumayan dekat dengan bandara seharga 600 ribu Rupiah untuk enam orang. Saya pun segera mengajak mereka untuk enyah dulu dari bandara. Mereka pun langsung mengikuti apa yang saya katakan bagaikan saya sebagai pemimpin perjalanan mereka. Kami pun naik mobil besar untuk kesana, yang hanya sekitar lima menit dari bandara.

Akhirnya mereka mengiyakan untuk tinggal di sana dan petugas hostel memperbolehkan kami untuk check in lebih awal, yang harusnya pukul sebelas siang, kami diperbolehkan untuk check in sekitar pukul enam pagi. Kami disediakan chai khas seperti halnya di tempat lain di Sri Lanka. Saya pun, yang sempat terlelap di bandara, melihat kasur langsung merobohkan badan seolah-olah badan ini berat sekali. Saya melihat yang lain juga mengistirahatkan diri mereka sembari memainkan telepon seluler mereka karena mendapatkan sambungan nirkabel.

Saya pun terbangun karena perut ini merasa lapar. Dan mereka pun masih belum tidur, atau mungkin sudah bangun dahulu, saya tidak tahu.
“Pada lapa ga semua? Ayo kita cari sarapan di sebelah. Murah-murah kok makan di sini.” Saya mengajak mereja untuk beranjak di dari kasur dan lambaian jaringan nirkabel. Langsung saja mereka mngiyakan.

“Mas, sudah pernah ke Sri Lanka? Sering jalan-jalan ke luar negri? Kok kelihatannya sudah siap sedia dan percaya diri sekali berbicara dengan orang asing.” Tanya salah satu dari mereka. Saya pun menjawab dengan senyuman sembari mengatakan, “Mas, tidak mau melihat Sri Lanka saja? Sri Lanka juga bagus, loh. Saya ini yang kedua kali kesini. Tempatnya indah-indah loh mas!.” Sembari memuji-muji Sri Lanka untuk sekedar melipur lara mereka.

Ah, kelihatannnya Sri Lanka seperti Indonesia mas, panas dan banyak sawah juga. Lagipula, saya tidak tahu apapun mengenai Sri Lanka karena memang kami tidak hendak bermain ke sini. Dan saya sepertinya tidak mau bermain ke sini lagi. Cukup sekali saja.” Ujar salah satu dari mereka.
Saya pun hanya membalas dengan anggukan kepala. Akhirnya kami berhenti di salah satu rumah makan yang di pinggir jalan. Saya pun memesan nasi dengan dhaal, sejenis lentil karena menu pagi hanya itu sa dan telur digulai. Mereka memesan makanan yang hampir mirip.

Wah, rasanya enak juga dan murah ya mas Sri Lanka. Pantesan mas balik kesini lagi.” Ujar salah satu sambil tertawa kecil.
Ternyata, pemilik rumah makan bisa berbicara bahasa arab karena selama lima tahun bekerja di Arab Saudi, dan mereka dua dari lima pemuda tadi sanggup berbicara bahasa Arab karena lulusan dari pesantren. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka tampak asyik sendiri. Kami berempat yang tidak bisa berbicara bahasa Arab akhirnya memesan sejenis martabak, yang saya tidak tahu namanya, untuk dibungkus di bawa ke hostel sebagai kudapan kecil.

Kami pun berjalan menuju kembali ke hostel, pemuda yang paling senior dari mereka bertanya kepada saya,
“Mas, tetap jadi ke Iran? Apa kami ikut ke Iran aja, ikut mas. Soalnya sepertinya lebih aman dan ada teman yang sudah berpengalaman bisa lebih enak.” Tanyanya kepada saya.
“Boleh saja mas, saya malah senang kalau kalian ikut ke Tehran bersama saya. Ayo nanti kita jalan-jalan. Di sana juga ada salju loh mas. Jadi, ya masih bisa lihat salju.” Jawab saya.
“Tapi mas di sana kan mau sekitar dua minggu, kami tidak bisa mas, soalnya harus bekerja lagi.” Ujarnya dengan suara yang rendah.

Sesampainya di hostel, mereka mencoba menghubungi rekan mereka di Indonesia untuk menceritakan masalah mereka berharap ada solusi yang ditawarkan. Sekian kali mencoba menghubungi, telepon tidak dijawab dan pesan whatsapp pun tidak dibalas. Mereka semakin khawatir. Saya pun mencoba membantu mereka sembari memikirkan masalah saya. Saya mencarikan tiket untuk terbang ke Medan dari Kolombo, mengingat visa mereka yang akan berakhir esok harinya. Harganya yang sekitar empat juta rupiah per orang pun terasa sangat mahal untuk mereka. Karena mereka hanya membawa uang saku sekitar dua juta rupiah per orang. Saya mnyarankan untuk meminjam teman mereka untuk kirim uang ke rekening bank mereka. Sayangnya, taksatupun dari mereka membawa rekening Bank. Saya pun secara sukarela menawarkan menggunakan rekening saya untuk mereka kirim uang. Mereka tetapi menolak menggunakannya.

Saya pun kembali memikirkan masalah saya. Akhirnya saya putuskan untuk tetap ke Iran jika harga tiket masih di bawah lima juta rupiah. Saya pun memutuskan untuk menuju agen perjalanan setelah melihat alamat dengan naik rickshaw atau Bajaj. Akhirnya saya mendapatkan tiket pulang pergi Kolombo-Tehran seharga 4,8 juta rupiah untuk penerbangan jam sembilan malam nanti, dengan penerbangan yang sama dengan penerbangan kemarin.

Jam menunjukkan pukul empat sore, saya bergegas kembali ke hostel untuk merapikan barang saya dan mencoba untuk menemukan solusi untuk saudara-saudara saya tadi.

“Mas, jadi beli tiket?” Tanya mereka
“Jadi mas! Alhamdulilah, harganya masih bisa saya bayar.” Jawab saya. “Jadinya bagaimana mas? Mau pulang ke Indonesia apa lanjut ke Turki? Saya bisa bantu sampai pukul tujuh saja nih mas soalnya saya akan terbang pukul sembilan malam. Mari saya antarkan ke pihak Turkish Airlines untuk menjelaskan semua, siapa tau ada jalan keluar semua.” Tambah saya.

Gapapa mas! Mas berangkat saja. Kami masih mencoba menghubungi rekan kami bagaimana. Lagipula kami tidak punya uang buat beli tiket ke Indonesia. Kami juga tidak mau merepotkan keluarga atau teman di Medan. Kami sudah bilang ke semua orang mau ke Turki. Tidak enak juga mas.” Salah satu dari mereka berkeluh kesah.

“Saya doakan mas nanti terbang selamat sampai Iran dan balik lagi ke Indonesia. Mari saya antar mas ke Bandara. Terima kasih telah menemani kami selama ini di Sri Lanka. Kalau tidak ada mas, mungkin kami masih luntang-lantung di Bandara. Lagian mas juga buru-buru juga.” Ujar salah satu menambahkan.

yasudah kalo begitu. Nanti tetap kabari saya apa yang terjadi. Saya tidak enak hati meninggalkan kalian di sini sendiri. Tuliskan nomer telepon seluler kalian biar bisa saya kirim pesan melalui whatsapp!.”

Mereka saling menatap satu sama lain, dan dia pun bilang, “Nomer mas saja saya simpan, lupa saya nomer telepon saya. Biar nanti saya kabari.” Ujarnya

Saya pun menuliskan nomer saya ke perangkat mereka. Saya sedikit aneh melihat perkataan mereka yang terkesan tidak mau memberikan informasi nomer telepon seluler mereka. Saya pun berfoto bareng, foto yang sampai sekarang masih terngiang di otakku dan selalu bertanya-tanya apa kabar mereka, saudara-saudaraku. Apakah mereka sudah di Medan dan melakukan perjalanan ke Turki atau kemana lagi. Saya harap semoga yang mengenal mereka, bisa menuliskan infornya kepada saya. 

Saya pun diantar dari mereka ke bandara, dan sala merasa bersalah meninggalkan mereka sendiri, dan sampai sekarang masih bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka. 

Meskipun tiket pulang pergi sudah ditangan, saya masih saja dilarang terbang dengan alasan tidak memiliki penerbangan kembali ke Indonesia. Saya pun segera menghubungi teman saya untuk membelikan saya tiket Kolombo-Jakarta. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya berhasil menghubunginya dan segera dilakukan pembayaran. Konter check in sebenarnya sudah ditutup, tetapi satu petugas ramah ini menunggu saya dan akhirnya diberikan boarding pass saya. Saya berlari menuju gerbang keberangkatan. Petugas QR berteriak-teriak “DOHA, DOHA! HURRY UP! HURRY UP!” 

Dengan napas yang terengah-engah saya mencari kursi saya. Saya kira saya adalah penumpang terakhir, ternyata masih ada dua turis dari negara Tiongkok yang baru masuk, yang ternyata turis yang saya lihat sedang asyik berbelanja sekita saya berlari-lari. Yasudahlah, drama sesi telah berakhir dan drama-drama berikutnya telah menanti. Semoga untuk perjalanan berikutnya tidak melakukannya dari Bandara Bandaranaike, sudah cukup sudah.


Dan buat kelima mas-mas tadi! Semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu kembali.
-selesai-

Sabtu, 25 Maret 2017

Terjebak di Bandara(naike) di Negombo, Sri Lanka part 1




Bandara Antarbangsa Bandaranaike (http://newsfirst.lk/english/wp-content/uploads/2014/11/airport-bandaranaike.jpg)
Dilarang terbang naik pesawat ketika sudah membeli tiket adalah hal yang menakutkan buat saya. Setiap melakukan penerbangan, terutama penerbangan antarbangsa, saya selalu cermat melihat syarat-syarat yang diberlakukan oleh maskapai, Bandara, dan negara tujuan. Namun, hal tersebut terjadi kepada saya ketika saya hendak melakukan penerbangan menuju Bandara antarbang
sa Imam Khomeini (IKA) di Tehran, Iran dari Bandara Bandaranaike (iya namanya Bandaranaike dan tidak terletak di Kolombo) di Negombo, Sri Lanka. Sangat mengerikan jika saya haru mengingat kembali masa itu.

Hari itu, saya masih di Bangalore, India. Saya berencana melakukan perjalanan sekitar tiga sampai empat minggu. Saya sudah di India selama satu minggu, dan salah satu tujuan saya melakukan kunjungan ke India sudah terwujud, menikmati makanan khas India Selatan, yang merupakan makanan favorit saya. Tujuan perjalanan yang menurut beberapa orang memang kurang penting dan terkesan kurang persiapan memang adalah hal yang saya sering lakukan walaupun saya berharap untuk lebih melakukan persiapan di setiap perjalanan saya, tetapi apa boleh buat ketika sudah menginjak di tempat baru, langsung saja ide untuk melakukan perjalanan tanpa persiapan akan muncul di kepala saya dan saya pun melakukannya.

Singkat cerita, saat di Bangalore, saya tiba-tiba ingin melakukan perjalanan ke Sri Lanka. Saya pun menuju ke gawai elektronik saya untuk berselancar di dunia maya mencari tiket dari India menuju ke Sri Lanka. Setelah melalui beberapa pencarian, akhirnya saya mendapatkan penerbangan satu arah dari Bandara Chennai menuju Bandara Bandaranaike di Negombo seharga kurang-lebih satu juta rupiah (lumayan mahal untuk penerbangan sekitar satu jam ini). Tanpa pikir panjang saya pun mengambil tiket ini, selain itu waktu pemberangkatan yang cocok menurut saya, pagi hari. 

Saya menuju ke Chennai dari Bangalore menggunakan Kereta Api antarkota. Waktu itu, Chennai baru saja porak poranda karena banjir besar dan kegiatan di Kota terbesar di Tamil Nadu tersebut sempat lumpuh. Saya sempat was-was jika saja kereta saya haru mengalami keterlambatan di perjalanan. Karena menurut jadwal, kereta saya tiba di Stasiun Chennai Central pada pukul lima pagi dan penerbangan saya pada pukul setengah sembilan pagi. Ada sekitar tiga setengah jam dari stasiun kereta ke bandara. Ternyata kereta saya sampai tepat waktu dan langsung saya mencari jalan menuju ke kereta loka yang akan membawa saya ke Bandara. Akhirnya saya sampai di Bandara Chennai sekitar pukul setengah tujuh.

Proses check in sampai masuk ke pesawat hingga tiba di Bandara Bandaranaike sangat lancar. Ketika sampai di Bandara Bandaranaike, saya langsung terkesima dan menginat sekitar dua tahun lalu saya juga mendarat di bandara ini dan setahun sebelumnya saya melakukan transit di bandara ini menuju ke Karachi, Pakistan. Saya pun langsung menggunakan Bus yang mengantar saya ke terminal bus di pusat kota Kolombo (namanya Colombo Fort). Sesampai di sana, bersama teman baru yang duduk bersama saya di Bus, kami menuju rumah makan di skeitar terminal. Saya yang sudah terlalu kangen dengan makanan Sri Lanka akhirnya menuju ke sebuah rumah makan Muslim di sekitar sana. Satu piring Nasi Goreng Sri Lanka dan dua gelas chai (teh susu khas Asia Selatan) langsung saja menuju ke meja saya. 

Rencananya teman saya akan bertemu dengan saya, tetapi karena suatu hal dia harus membatalkan dan saya waktu itu cukup kecewa karena saya harus membawa tas besar saya di punggung selama perjalanan yang memang berjalan kaki akan sangat melelahkan. Sebelumnya, saya sempat mau menitipkan tas di bandara, tetapi tidakdiperbolehkan karena tas saya harus ada kancing dan kunci, sedangkan saya tidak mempunyai dan saya sempat bersikeras untuk menitipkan tas saya, tetapi tetap saja ditolak oleh penjaga di sana, walaupun sempat ada drama sedikit, tetap saja ditolak. Itulah drama pertama di Bandara Bandaranaike, dan ternyata malam harinya juga ada balada drama yang tidak kalah mencengangkan dibanding drama penitipan tas.

Saya pun menghabiskan hari saya keliling daerah Fort dan menikmati deburan ombak dan angin dari Samudra India. Saya mempunyai penerbangan menuju ke Tehran pada pukul semibilan malam. Saya sebenarnya menanti momen dimana matahari terbenam, tetapi sampai jam lima sore, Matahari tidak menampakkan akan terbenam dalam waktu dekat. Saya pun memutuskan untuk kembali ke terminal untuk naik bus kembali ke Bandara. Saya pun menyempatan untuk menuju Cargill’s, salah satu pasar toserba di Sri Lanka, untuk membeli beberapa teh Sri Lanka, yang memang sangat mendunia. Ternyata waktu belanja yang saya perkirakan selama lima menit menjadi lima belas menit karena bimbang mencari teh mana yang akan dibeli. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Saya pun berlari menuju terminal bus, yang ternyata lumayan jauh. Saya berlari dan berlari menembuh keramaian trotoar di kota Kolombo, karena jam tersebut adalah jam sibuk para pekerja pulang dan para pedagang membuka dagangan mereka, seperti halnya di Indonesia. Jalanan penuh sesak oleh manusia, dan saya dengan gembolan tas yang besar harus melawan ribuan manusia ini untuk menuju ke Terminal. Pas saya sampai di terminal, Bus menuju bandara baru saja pergi. Saya pun disuruh oleh orang disana untuk mengejar busnya, untungnya bus terkena macet dan saya bisa mendapatkan bus itu (bus menuju Badara ada setiap tiga puluh menit sekali). Keberuntungan saya berlanjut ketika tinggal ada satu kursi kosong dan tanpa pikir panjang saya mengambil tempat duduk itu. Ternyata jalur menuju Bandara dari Terminal melewati pasar tumpah (Sejenis pasar tumpah kalau di Indonesia, saya tidak tahu harus menyebutnya apa) dan bus harus berjalanan sangat pelan sekali. Saya pun sekejap berubah menjadi pribadi yang taat beragama, mulut saya tidak berhenti berkumat-kamit mengucapkan doa, untungnya saya tidak mengucapkan doa makan. Kemacetan makin menjadi-jadi, saya semakin khawatir akan ketinggalan pesawat saya, karena maskapai Qatar Airways dikenal sangat patuh tepat waktu dalam menutup gerbang masuk ke Pesawat (tidak heran jika dinobatkan sebagai Maskapai terbaik dunia dua kali berturut-turut). Doa saya pun dijaban oleh yang Di Atas. Bus masuk jalan bebas hambatan dan kurang dari lima belas menit saja sudah sampai di Bandara. Waktu menunjukkan hampir pukul setengah delapan malam. Saya pun segera berlari menuju check in. Atrian panjang di semua konter membuat saya menunggu sembari berselancar di dunia maya. Sebagi informasi, Bandaranaike menyediakan layanan nirkabel gratis, namun setiap lima belas sekali akan mati dan harus menghubungkan kembali.

Saya pun mendapat giliran saya. Terjadilah percakapan antara saya dan petugas check in
“Tuan, Ada tiket kembali ke Negara Anda?” Tanya Petugas
“Saya belum beli tiket untuk pulang karena saya berencana melakukan perjalanan ke Turki lewat bus dari Iran.” Jawab saya tenang
Dia pun mengutak-atik di komputernya, kemudian dia bilang,
“Maaf Tuan, untuk Visa on Arrival ke Iran, pemegang paspor Indonesia harus memiliki tiket keluar Iran dan menuju negara Indonesia.”
Saya pun terkejut, “Seperti itu? Saya kemarin sebelumnya mengirim surat elektronik ke Kedutaan Besar Iran di Indonesia dan mereka bilang bahwa saya tidak perlu tiket pulang pergi.” Saya menjawab dengan penuh kebohongan.

Apakah berhasil? Tidak….

Petugas pun memanggil manajer darat maskapai Qatar Airways dan mempersilahkan saya untuk minggir sebentar. Sang manajer masih sibuk karena ada beberapa penumpang lain yang bermasalah, dan saya dengan tenang dan pikiran positif bakal mendapatkan Boarding Pass ke Tehran. Di konter sebelah, ada Maskapai Turkey Airlines, dan ada penumpang yang ditolak juga untuk terbang dan disuruh untuk minggir sebentar. Saya yang sebenarnya kurang peduli karena saya juga masih belum pasti bisa terbang tiba-tiba terkejut mendengar percakapan antarpenumpang Turkey Airlines yang ditolak tadi menggunakan Bahasa Indonesia dengan aksen Sumatera.

Bah, Macam apa ini kita dilarang terbang? Kita harus berbicara kepada petugasnya!” kata salah seorang dari empat orang tadi.
Saya yang merasa terpanggil karena ada saudara setanah air mengalami hal yang sama langsung menyapa mereka,
“Ada apa mas? Saya juga dilarang terbang nih mas!” Kata Saya sembari mencoba membahagiakan mereka.
“Oh iya mas? Mau ke Istanbul juga? “ Tanya salah satu dan mereka
“Bukan Mas, saya naik Qatar Airways mau ke Iran.”
“Oh gitu mas!” Jawab mereka bagaikan paduan suara.
Saya pun meninggalkan mereka (sejenak) untuk bertemu dengan Manajer QR (kode untuk Qatar Airways).
“Maaf, Tuan! Anda tidak diijinkan terbang ke Iran jika Anda tidak memiliki tiket kembali. Karena ini aturan yang dibuat oleh pihak Imigrasi Iran.” Katanya mantap tanpa menoleh kepadaku.

Ternyata keberuntungkan berhenti di sini. Saya tiba-tiba melakukan seatu yang di luar kehendak saya. Sesuatu yang membuatku malu. Terinspirasi film Bollywood yang penuh drama, yang biasanya terjadi di Bandara-Bandara, saya pun menepuk pundak ptugas tadi dan berbicara,

“Saya Mohon, saya akan menanggung semua akibatnya jika saya dilarang masuk Iran. Tugas Anda Cuma memberikan saya boarding pass itu, Saya Mohon!” ujar saya mengemis-emis kepadanya
“Maaf Tuan, kami tetap tidak bisa mengijinkan Anda Untuk terbang. Maaf saya harus kembali ke kantor karena pesawat akan persiapan untuk lepas landas.” Ujarnya

Dia pun berpaling dan berjalan menuju ke kantornya. Saya yang tidak puas dengan penjelasaanya mengejarnya, seperti di film-film India. Mungkin saya dia merasa terganggu, dia pun berteriak memanggil petugas keamanan di Bandara untuk mengusirku.
“Hentikan dan jangan membuat gaduh di Bandara! Saya akan benar-benar memanggil Petugas keamanan untuk mengusir Anda! Anda benar-benar membuat saya marah.” Dia langsung saja meninggalkanku yang berdiri lemas, dan dia berbicara dengan salah seorang petugas kemanan bandara.

Saya pun takberdaya utuk mengejarnya karena petugas keamanan menatapku tajam. Saya pun berjalan gontai, lemas, sangat tidak bersemangat mengingat konter check in sudah ditutup dan waktu hampir menujunkkan pukul sembilan malam.

Saya mencari tempat duduk sembari mengingat kesalahan-kesalahan apa yang telah saya perbuat dan mencoba mebuat rencana baru, apakah kembali meneruskan perjalanan ke Iran, kembali ke India, atau pulang ke Jakarta karena untuk tinggal lebih lama di Sri Lanka sangat tidak mungkin karena visa transit saya hanya mengijinkan saya untuk menetap di Sri Lanka selama 48 jam saja.
Saya terduduk lemas, capek dan kecewa serta sedih bercampur menjadi satu. Kaki ini pun mulai meminta untuk diluruskan. Tiba-tiba saya terkejut, sesuatu hal terjadi (hal yang menjadi sangat emosial untuk saya).

Bersambung......