Saya terkejut ketika sebanyak
lima pria berwajah melayu menghampiri saya. Mereka adalah mas-mas yang saya
temui sebelumnya saat saya ditolak untuk check
in.
“Oh, mas yang tadi? Bagaimana? Jadi berangkat?”
tanya saya kepada mereka. (Mereka masih di Bandara berarti ya ditolak juga
untuk terbang).
“Ga
jadi mas. Kami semua ditolak untuk terbang. Lha,
mas sendiri gimana?” tanya mereka
“Iya, Mas sama!
Saya juga gagal terbang. Sini saja dulu mas istriahat sebentar!” Saya mengajak
mereka untuk duduk-duduk di bangku Bandara.
Ada lima pemuda lajang (meraka mengaku begitu)
asal Medan, Sumatera Utara. Mereka hendak melakukan perjalanan ke Istanbul,
perjalanan ke luar negeri perdana mereka. Mereka pun
berujar,
“Iya mas, kami mau ke Turki mau melihat salju. Kami sudah
mengumpulkan uang sejak berbulan-bulan yang lalu untuk mewujudkan perjalanan
ini. Kami akhirnya membeli jaket-jaket tebal untuk musim dingin dan sepatu baru karena saya dengar kalau
salju itu berarti dingin sekali. Padahal hotel sudah kami bayar lunas semua. Saya
bingung mau bagaimana ini. Selain itu saya juga tidak mempunyai uang saku yang
banyak karena kami sudah mebayar ke agen perjalanan kami semua, mulai dari
tiket hingga hotel. Jadi, kami membawa uang saku secukupnya saja untuk makan,
transportasi, dan mungkin oleh-oleh.”
Mendengar curahan hati mereka saya merasa terharu dan bangga terhadapa
mereka. Mereka masih terlihat tegar menghadapi masalah ini, masalah yang
mungkin tidak akan pernah mereka bayangkan sebelumnya. Ke luar negri perdana,
dan langsung terdampar di negara yang mereka sama sekali tidak tahu. Usut punya
usut, dua dari lima pemuda ini bekerja di agen perjalanan yang memesankan tiket
pesawat dan hotel.
para pemuda yang menemani saya |
Saya pun menitipkan barang saya sejenak ke mereka karena saya akan ke
kantor pihak Qatar Airways, di lantai dua. Saya berjalan santai dan mencoba
untuk tegar. Setelah celingak-celinguk
mencari ruangan yang mana, saya melihat sekumpulan orang. Saya pun menghampiri
mereka. Ternyata, itu adalah ruangan Qatar Airways. Terlihat tidak kurang dari
sepuluh orang mengalami nasib yang sama dengan saya. Saya pun mengikhlaskan
kejadian ini dan segera turun untuk istirahat sebentar di bangku bandara.
“Bagaimana mas? Ada penyelesaian?” Tanya salah satu dari mereka. Saya pun
menggelengkan kepala sebagai tanda jawaban tidak. Saya pun penasaran dengan
masalah mereka, akhirnya saya beranikan bertanya,
“Kenapa sih mas kok dilarang terbang oleh Turkish
Airlines?”
Saya lupa semua nama dari mereka, salah seorang yang paling dituakan
menjawab, “Iya mas, katanya kami tidak memegang tiket balik ke Indonesia. Padahal
kami sudah mendapatkan visa elektronik. Dan kami pun memegang tiket penerbangan
pulang ke Medan dengan Saudia Airlines melalui Riyadh. Saya kurang paham mas
kalau naik beda pesawat tidak boleh masuk di suatu negara, kami baru sekali
jalan-jalan ke luar negri. Ke Singapura atau Malaysia saja belum pernah.” Mereka
semakin mencurahkan uneg-uneg mereka.
Saya melihat kasus mereka sangat aneh sekali mengingat mereka sudah
memegang tiket kembali ke Medan, walaupun dengan pesawat yang berbeda masih
saja ditolak untuk masuk.
“Iya mas, kata mbak yang jaga konter tadi bilang harus naik Turkish
Airlines, tidak boleh maskapai yang lain.” Mas tadi menambahkan.
Kembali semakin aneh kasus yang menimpa mereka. Kalau kasus saya, jelas dan
saya memang yang bersalah. Tetapi, untuk kasus mereka sangat aneh sekali. Saya kembali
berusaha menggali informasi dari mereka.
“Saya saja nih mas yang bisa
berbahasa inggris, mereka semua kurang paham bahasa inggris. Bahasa inggris
saya juga masih terbata-bata. Saya kurang terlalu paham apa yang dikatakan
petugas konter tadi dan saya mau membela diri juga tidak tahu harus berkata
apa.” Ujarnya
Wah, saya berasumsi bahwa mungkin terjadi
kesalahpahaman karena faktor bahasa antara mereka. Mungkin saja mas ini salah
mengartikan maksud petugas tadi serta petugas tadi juga tidak paham apa yang
mas ini katakan.
“Yowes Mas, ayo saya antarkan ke
pihak Turkish Airlines, saya bantu untuk menjelaskan ke mereka biar masalahnya
ada jalan keluarnya.” Paksa saya ke mereka.
“Ga usah mas, nanti malah semakin
besar masalahnya. Lagi pula ini sudah malam, sudah hampir jam dua belas. Kami juga
sudah capek. Seharian di bandara.” Ujar mereka pasrah
Apa boleh dikata, saya pun menyetujui untuk istirahat di bandara dulu
berharap esok hari mendapatkan wahyu atau ide untuk melakukan apa. Saya juga
masih memikirkan nasib saya yang masih terombang-ambing juga, seperti mereka.
Kami berenam, akhirnya, memutuskan untuk beristirahat di lantai pojokan. Saya
langsung saja bisa merebahkan badan dan langsung terlelap, seolah-olah acuh
terhadapa masalah. Saya pun beranggapan bahwa mereka juga akan terlelap setelah
hari panjang yang penuh drama, yang tidak kalah dari drama telenovela atau
drama korea sekalipun.
Saya terbangun sekitar pukul setengah tiga pagi, badan merasa pegal-pegal
dan lantai semakin dingin. Saya terkaget melihat mereka masih terjaga, masih
melakukan pembicaraan yang saya tidak ketahui. Tak ingin mencampuri urusan
mereka, saya kembali menarik selimut saya melanjutkan tidur.
“Mas-mas, bangun mas! Ga mau Sholat Subuh dulu?” mereka membangunkanku.
“Oh, saya bukan muslim mas, jadi saya tidak Sholat. Kalau mau sholat
berjamaah, silahkan. Barang-barang kalian taruh di sini saja, saya yang akan
menjaga. Oiya, ada Masjid atau
Musholla di Bandara?” saya menjawab mereka
Mereka sempat terdiam, dan saling melihat satu sama lain dan mereka baru
sadar bahwa Sri Lanka bukanlah Indonesia yang bisa mendapatkan Musholla atau
Masjid hampir di setiap pojokan. Mereka pun memutuskan untuk sholat di tempat
saya tertidur, bergantian satu-satu agar tidak terlihat aneh di mata
orang-orang.
Setelah mereka selesai menunaikan ibadah sholat Subuh, saya pun
berinisiatif untuk menyewa kamar hotel murah di sekitar Bandara. Saya melihat
gawai elektronik dan segecap mendapatkan kamar hostel dengan tiga kasur yang
lokasi lumayan dekat dengan bandara seharga 600 ribu Rupiah untuk enam orang. Saya
pun segera mengajak mereka untuk enyah dulu dari bandara. Mereka pun langsung
mengikuti apa yang saya katakan bagaikan saya sebagai pemimpin perjalanan
mereka. Kami pun naik mobil besar untuk kesana, yang hanya sekitar lima menit
dari bandara.
Akhirnya mereka mengiyakan untuk tinggal di sana dan petugas hostel
memperbolehkan kami untuk check in
lebih awal, yang harusnya pukul sebelas siang, kami diperbolehkan untuk check in sekitar pukul enam pagi. Kami disediakan
chai khas seperti halnya di tempat
lain di Sri Lanka. Saya pun, yang sempat terlelap di bandara, melihat kasur
langsung merobohkan badan seolah-olah badan ini berat sekali. Saya melihat yang
lain juga mengistirahatkan diri mereka sembari memainkan telepon seluler mereka
karena mendapatkan sambungan nirkabel.
Saya pun terbangun karena perut ini merasa lapar. Dan mereka pun masih
belum tidur, atau mungkin sudah bangun dahulu, saya tidak tahu.
“Pada lapa ga semua? Ayo kita cari
sarapan di sebelah. Murah-murah kok
makan di sini.” Saya mengajak mereja untuk beranjak di dari kasur dan lambaian
jaringan nirkabel. Langsung saja mereka mngiyakan.
“Mas, sudah pernah ke Sri Lanka? Sering jalan-jalan ke luar negri? Kok kelihatannya sudah siap sedia dan
percaya diri sekali berbicara dengan orang asing.” Tanya salah satu dari mereka.
Saya pun menjawab dengan senyuman sembari mengatakan, “Mas, tidak mau melihat
Sri Lanka saja? Sri Lanka juga bagus, loh.
Saya ini yang kedua kali kesini. Tempatnya indah-indah loh mas!.” Sembari memuji-muji Sri Lanka untuk sekedar melipur lara
mereka.
“Ah, kelihatannnya Sri Lanka
seperti Indonesia mas, panas dan banyak sawah juga. Lagipula, saya tidak tahu
apapun mengenai Sri Lanka karena memang kami tidak hendak bermain ke sini. Dan saya
sepertinya tidak mau bermain ke sini lagi. Cukup sekali saja.” Ujar salah satu
dari mereka.
Saya pun hanya membalas dengan anggukan kepala. Akhirnya kami berhenti di
salah satu rumah makan yang di pinggir jalan. Saya pun memesan nasi dengan dhaal, sejenis lentil karena menu pagi
hanya itu sa dan telur digulai. Mereka memesan makanan yang hampir mirip.
“Wah, rasanya enak juga dan murah
ya mas Sri Lanka. Pantesan mas balik kesini lagi.” Ujar salah satu sambil
tertawa kecil.
Ternyata, pemilik rumah makan bisa berbicara bahasa arab karena selama lima
tahun bekerja di Arab Saudi, dan mereka dua dari lima pemuda tadi sanggup
berbicara bahasa Arab karena lulusan dari pesantren. Saya tidak tahu apa yang
mereka bicarakan. Mereka tampak asyik sendiri. Kami berempat yang tidak bisa
berbicara bahasa Arab akhirnya memesan sejenis martabak, yang saya tidak tahu
namanya, untuk dibungkus di bawa ke hostel sebagai kudapan kecil.
Kami pun berjalan menuju kembali ke hostel, pemuda yang paling senior dari
mereka bertanya kepada saya,
“Mas, tetap jadi ke Iran? Apa kami ikut ke Iran aja, ikut mas. Soalnya sepertinya
lebih aman dan ada teman yang sudah berpengalaman bisa lebih enak.” Tanyanya
kepada saya.
“Boleh saja mas, saya malah
senang kalau kalian ikut ke Tehran bersama saya. Ayo nanti kita jalan-jalan. Di
sana juga ada salju loh mas. Jadi, ya
masih bisa lihat salju.” Jawab saya.
“Tapi mas di sana kan mau sekitar dua minggu, kami tidak bisa mas, soalnya
harus bekerja lagi.” Ujarnya dengan suara yang rendah.
Sesampainya di hostel, mereka mencoba menghubungi rekan mereka di Indonesia
untuk menceritakan masalah mereka berharap ada solusi yang ditawarkan. Sekian kali
mencoba menghubungi, telepon tidak dijawab dan pesan whatsapp pun tidak dibalas. Mereka semakin khawatir. Saya pun
mencoba membantu mereka sembari memikirkan masalah saya. Saya mencarikan tiket
untuk terbang ke Medan dari Kolombo, mengingat visa mereka yang akan berakhir
esok harinya. Harganya yang sekitar empat juta rupiah per orang pun terasa
sangat mahal untuk mereka. Karena mereka hanya membawa uang saku sekitar dua
juta rupiah per orang. Saya mnyarankan untuk meminjam teman mereka untuk kirim
uang ke rekening bank mereka. Sayangnya, taksatupun dari mereka membawa
rekening Bank. Saya pun secara sukarela menawarkan menggunakan rekening saya
untuk mereka kirim uang. Mereka tetapi menolak menggunakannya.
Saya pun kembali memikirkan masalah saya. Akhirnya saya putuskan untuk
tetap ke Iran jika harga tiket masih di bawah lima juta rupiah. Saya pun
memutuskan untuk menuju agen perjalanan setelah melihat alamat dengan naik rickshaw atau Bajaj. Akhirnya saya
mendapatkan tiket pulang pergi Kolombo-Tehran seharga 4,8 juta rupiah untuk
penerbangan jam sembilan malam nanti, dengan penerbangan yang sama dengan
penerbangan kemarin.
Jam menunjukkan pukul empat sore, saya bergegas kembali ke hostel untuk
merapikan barang saya dan mencoba untuk menemukan solusi untuk saudara-saudara
saya tadi.
“Mas, jadi beli tiket?” Tanya mereka
“Jadi mas! Alhamdulilah, harganya
masih bisa saya bayar.” Jawab saya. “Jadinya bagaimana mas? Mau pulang ke
Indonesia apa lanjut ke Turki? Saya bisa bantu sampai pukul tujuh saja nih mas soalnya saya akan terbang pukul
sembilan malam. Mari saya antarkan ke pihak Turkish Airlines untuk menjelaskan
semua, siapa tau ada jalan keluar semua.” Tambah saya.
“Gapapa mas! Mas berangkat saja. Kami
masih mencoba menghubungi rekan kami bagaimana. Lagipula kami tidak punya uang
buat beli tiket ke Indonesia. Kami juga tidak mau merepotkan keluarga atau
teman di Medan. Kami sudah bilang ke semua orang mau ke Turki. Tidak enak juga
mas.” Salah satu dari mereka berkeluh kesah.
“Saya doakan mas nanti terbang selamat sampai Iran dan balik lagi ke
Indonesia. Mari saya antar mas ke Bandara. Terima kasih telah menemani kami
selama ini di Sri Lanka. Kalau tidak ada mas, mungkin kami masih
luntang-lantung di Bandara. Lagian mas juga buru-buru juga.” Ujar salah satu
menambahkan.
“yasudah kalo begitu. Nanti tetap
kabari saya apa yang terjadi. Saya tidak enak hati meninggalkan kalian di sini
sendiri. Tuliskan nomer telepon seluler kalian biar bisa saya kirim pesan
melalui whatsapp!.”
Mereka saling menatap satu sama lain, dan dia pun bilang, “Nomer mas saja
saya simpan, lupa saya nomer telepon saya. Biar nanti saya kabari.” Ujarnya
Saya pun menuliskan nomer saya ke perangkat mereka. Saya sedikit aneh
melihat perkataan mereka yang terkesan tidak mau memberikan informasi nomer
telepon seluler mereka. Saya pun berfoto bareng, foto yang sampai sekarang
masih terngiang di otakku dan selalu bertanya-tanya apa kabar mereka,
saudara-saudaraku. Apakah mereka sudah di Medan dan melakukan perjalanan ke
Turki atau kemana lagi. Saya harap semoga yang mengenal mereka, bisa menuliskan
infornya kepada saya.
Saya pun diantar dari mereka ke bandara, dan sala merasa bersalah
meninggalkan mereka sendiri, dan sampai sekarang masih bertanya-tanya bagaimana
keadaan mereka.
Meskipun tiket pulang pergi sudah ditangan, saya masih saja dilarang
terbang dengan alasan tidak memiliki penerbangan kembali ke Indonesia. Saya pun
segera menghubungi teman saya untuk membelikan saya tiket Kolombo-Jakarta. Setelah
mencoba berkali-kali, akhirnya berhasil menghubunginya dan segera dilakukan
pembayaran. Konter check in sebenarnya
sudah ditutup, tetapi satu petugas ramah ini menunggu saya dan akhirnya
diberikan boarding pass saya. Saya berlari
menuju gerbang keberangkatan. Petugas QR berteriak-teriak “DOHA, DOHA! HURRY UP! HURRY UP!”
Dengan napas yang terengah-engah saya mencari kursi saya. Saya kira saya
adalah penumpang terakhir, ternyata masih ada dua turis dari negara Tiongkok
yang baru masuk, yang ternyata turis yang saya lihat sedang asyik berbelanja
sekita saya berlari-lari. Yasudahlah, drama
sesi telah berakhir dan drama-drama berikutnya telah menanti. Semoga untuk
perjalanan berikutnya tidak melakukannya dari Bandara Bandaranaike, sudah cukup
sudah.
Dan buat kelima mas-mas tadi! Semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu
kembali.
-selesai-