Minggu, 26 Maret 2017

Terjebak di Bandara(naike) di Negombo, Sri Lanka part 2-selesai



Saya terkejut ketika sebanyak lima pria berwajah melayu menghampiri saya. Mereka adalah mas-mas yang saya temui sebelumnya saat saya ditolak untuk check in.
“Oh, mas yang tadi? Bagaimana? Jadi berangkat?” tanya saya kepada mereka. (Mereka masih di Bandara berarti ya ditolak juga untuk terbang).
Ga jadi mas. Kami semua ditolak untuk terbang. Lha, mas sendiri gimana?” tanya mereka
“Iya, Mas sama! Saya juga gagal terbang. Sini saja dulu mas istriahat sebentar!” Saya mengajak mereka untuk duduk-duduk di bangku Bandara. 

Ada lima pemuda lajang (meraka mengaku begitu) asal Medan, Sumatera Utara. Mereka hendak melakukan perjalanan ke Istanbul, perjalanan ke luar negeri perdana mereka. Mereka pun berujar,
“Iya mas, kami mau ke Turki mau melihat salju. Kami sudah mengumpulkan uang sejak berbulan-bulan yang lalu untuk mewujudkan perjalanan ini. Kami akhirnya membeli jaket-jaket tebal untuk musim dingin dan sepatu baru karena saya dengar kalau salju itu berarti dingin sekali. Padahal hotel sudah kami bayar lunas semua. Saya bingung mau bagaimana ini. Selain itu saya juga tidak mempunyai uang saku yang banyak karena kami sudah mebayar ke agen perjalanan kami semua, mulai dari tiket hingga hotel. Jadi, kami membawa uang saku secukupnya saja untuk makan, transportasi, dan mungkin oleh-oleh.”

Mendengar curahan hati mereka saya merasa terharu dan bangga terhadapa mereka. Mereka masih terlihat tegar menghadapi masalah ini, masalah yang mungkin tidak akan pernah mereka bayangkan sebelumnya. Ke luar negri perdana, dan langsung terdampar di negara yang mereka sama sekali tidak tahu. Usut punya usut, dua dari lima pemuda ini bekerja di agen perjalanan yang memesankan tiket pesawat dan hotel.

para pemuda yang menemani saya
Saya pun menitipkan barang saya sejenak ke mereka karena saya akan ke kantor pihak Qatar Airways, di lantai dua. Saya berjalan santai dan mencoba untuk tegar. Setelah celingak-celinguk mencari ruangan yang mana, saya melihat sekumpulan orang. Saya pun menghampiri mereka. Ternyata, itu adalah ruangan Qatar Airways. Terlihat tidak kurang dari sepuluh orang mengalami nasib yang sama dengan saya. Saya pun mengikhlaskan kejadian ini dan segera turun untuk istirahat sebentar di bangku bandara.

“Bagaimana mas? Ada penyelesaian?” Tanya salah satu dari mereka. Saya pun menggelengkan kepala sebagai tanda jawaban tidak. Saya pun penasaran dengan masalah mereka, akhirnya saya beranikan bertanya,
“Kenapa sih mas kok dilarang terbang oleh Turkish Airlines?”
Saya lupa semua nama dari mereka, salah seorang yang paling dituakan menjawab, “Iya mas, katanya kami tidak memegang tiket balik ke Indonesia. Padahal kami sudah mendapatkan visa elektronik. Dan kami pun memegang tiket penerbangan pulang ke Medan dengan Saudia Airlines melalui Riyadh. Saya kurang paham mas kalau naik beda pesawat tidak boleh masuk di suatu negara, kami baru sekali jalan-jalan ke luar negri. Ke Singapura atau Malaysia saja belum pernah.” Mereka semakin mencurahkan uneg-uneg mereka.

Saya melihat kasus mereka sangat aneh sekali mengingat mereka sudah memegang tiket kembali ke Medan, walaupun dengan pesawat yang berbeda masih saja ditolak untuk masuk.
“Iya mas, kata mbak yang jaga konter tadi bilang harus naik Turkish Airlines, tidak boleh maskapai yang lain.” Mas tadi menambahkan.
Kembali semakin aneh kasus yang menimpa mereka. Kalau kasus saya, jelas dan saya memang yang bersalah. Tetapi, untuk kasus mereka sangat aneh sekali. Saya kembali berusaha menggali informasi dari mereka.

“Saya saja nih mas yang bisa berbahasa inggris, mereka semua kurang paham bahasa inggris. Bahasa inggris saya juga masih terbata-bata. Saya kurang terlalu paham apa yang dikatakan petugas konter tadi dan saya mau membela diri juga tidak tahu harus berkata apa.” Ujarnya
Wah, saya berasumsi bahwa mungkin terjadi kesalahpahaman karena faktor bahasa antara mereka. Mungkin saja mas ini salah mengartikan maksud petugas tadi serta petugas tadi juga tidak paham apa yang mas ini katakan. 

“Yowes Mas, ayo saya antarkan ke pihak Turkish Airlines, saya bantu untuk menjelaskan ke mereka biar masalahnya ada jalan keluarnya.” Paksa saya ke mereka.
Ga usah mas, nanti malah semakin besar masalahnya. Lagi pula ini sudah malam, sudah hampir jam dua belas. Kami juga sudah capek. Seharian di bandara.” Ujar mereka pasrah
Apa boleh dikata, saya pun menyetujui untuk istirahat di bandara dulu berharap esok hari mendapatkan wahyu atau ide untuk melakukan apa. Saya juga masih memikirkan nasib saya yang masih terombang-ambing juga, seperti mereka.

Kami berenam, akhirnya, memutuskan untuk beristirahat di lantai pojokan. Saya langsung saja bisa merebahkan badan dan langsung terlelap, seolah-olah acuh terhadapa masalah. Saya pun beranggapan bahwa mereka juga akan terlelap setelah hari panjang yang penuh drama, yang tidak kalah dari drama telenovela atau drama korea sekalipun.

Saya terbangun sekitar pukul setengah tiga pagi, badan merasa pegal-pegal dan lantai semakin dingin. Saya terkaget melihat mereka masih terjaga, masih melakukan pembicaraan yang saya tidak ketahui. Tak ingin mencampuri urusan mereka, saya kembali menarik selimut saya melanjutkan tidur.

“Mas-mas, bangun mas! Ga  mau Sholat Subuh dulu?” mereka membangunkanku.
“Oh, saya bukan muslim mas, jadi saya tidak Sholat. Kalau mau sholat berjamaah, silahkan. Barang-barang kalian taruh di sini saja, saya yang akan menjaga. Oiya, ada Masjid atau Musholla di Bandara?” saya menjawab mereka

Mereka sempat terdiam, dan saling melihat satu sama lain dan mereka baru sadar bahwa Sri Lanka bukanlah Indonesia yang bisa mendapatkan Musholla atau Masjid hampir di setiap pojokan. Mereka pun memutuskan untuk sholat di tempat saya tertidur, bergantian satu-satu agar tidak terlihat aneh di mata orang-orang.

Setelah mereka selesai menunaikan ibadah sholat Subuh, saya pun berinisiatif untuk menyewa kamar hotel murah di sekitar Bandara. Saya melihat gawai elektronik dan segecap mendapatkan kamar hostel dengan tiga kasur yang lokasi lumayan dekat dengan bandara seharga 600 ribu Rupiah untuk enam orang. Saya pun segera mengajak mereka untuk enyah dulu dari bandara. Mereka pun langsung mengikuti apa yang saya katakan bagaikan saya sebagai pemimpin perjalanan mereka. Kami pun naik mobil besar untuk kesana, yang hanya sekitar lima menit dari bandara.

Akhirnya mereka mengiyakan untuk tinggal di sana dan petugas hostel memperbolehkan kami untuk check in lebih awal, yang harusnya pukul sebelas siang, kami diperbolehkan untuk check in sekitar pukul enam pagi. Kami disediakan chai khas seperti halnya di tempat lain di Sri Lanka. Saya pun, yang sempat terlelap di bandara, melihat kasur langsung merobohkan badan seolah-olah badan ini berat sekali. Saya melihat yang lain juga mengistirahatkan diri mereka sembari memainkan telepon seluler mereka karena mendapatkan sambungan nirkabel.

Saya pun terbangun karena perut ini merasa lapar. Dan mereka pun masih belum tidur, atau mungkin sudah bangun dahulu, saya tidak tahu.
“Pada lapa ga semua? Ayo kita cari sarapan di sebelah. Murah-murah kok makan di sini.” Saya mengajak mereja untuk beranjak di dari kasur dan lambaian jaringan nirkabel. Langsung saja mereka mngiyakan.

“Mas, sudah pernah ke Sri Lanka? Sering jalan-jalan ke luar negri? Kok kelihatannya sudah siap sedia dan percaya diri sekali berbicara dengan orang asing.” Tanya salah satu dari mereka. Saya pun menjawab dengan senyuman sembari mengatakan, “Mas, tidak mau melihat Sri Lanka saja? Sri Lanka juga bagus, loh. Saya ini yang kedua kali kesini. Tempatnya indah-indah loh mas!.” Sembari memuji-muji Sri Lanka untuk sekedar melipur lara mereka.

Ah, kelihatannnya Sri Lanka seperti Indonesia mas, panas dan banyak sawah juga. Lagipula, saya tidak tahu apapun mengenai Sri Lanka karena memang kami tidak hendak bermain ke sini. Dan saya sepertinya tidak mau bermain ke sini lagi. Cukup sekali saja.” Ujar salah satu dari mereka.
Saya pun hanya membalas dengan anggukan kepala. Akhirnya kami berhenti di salah satu rumah makan yang di pinggir jalan. Saya pun memesan nasi dengan dhaal, sejenis lentil karena menu pagi hanya itu sa dan telur digulai. Mereka memesan makanan yang hampir mirip.

Wah, rasanya enak juga dan murah ya mas Sri Lanka. Pantesan mas balik kesini lagi.” Ujar salah satu sambil tertawa kecil.
Ternyata, pemilik rumah makan bisa berbicara bahasa arab karena selama lima tahun bekerja di Arab Saudi, dan mereka dua dari lima pemuda tadi sanggup berbicara bahasa Arab karena lulusan dari pesantren. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka tampak asyik sendiri. Kami berempat yang tidak bisa berbicara bahasa Arab akhirnya memesan sejenis martabak, yang saya tidak tahu namanya, untuk dibungkus di bawa ke hostel sebagai kudapan kecil.

Kami pun berjalan menuju kembali ke hostel, pemuda yang paling senior dari mereka bertanya kepada saya,
“Mas, tetap jadi ke Iran? Apa kami ikut ke Iran aja, ikut mas. Soalnya sepertinya lebih aman dan ada teman yang sudah berpengalaman bisa lebih enak.” Tanyanya kepada saya.
“Boleh saja mas, saya malah senang kalau kalian ikut ke Tehran bersama saya. Ayo nanti kita jalan-jalan. Di sana juga ada salju loh mas. Jadi, ya masih bisa lihat salju.” Jawab saya.
“Tapi mas di sana kan mau sekitar dua minggu, kami tidak bisa mas, soalnya harus bekerja lagi.” Ujarnya dengan suara yang rendah.

Sesampainya di hostel, mereka mencoba menghubungi rekan mereka di Indonesia untuk menceritakan masalah mereka berharap ada solusi yang ditawarkan. Sekian kali mencoba menghubungi, telepon tidak dijawab dan pesan whatsapp pun tidak dibalas. Mereka semakin khawatir. Saya pun mencoba membantu mereka sembari memikirkan masalah saya. Saya mencarikan tiket untuk terbang ke Medan dari Kolombo, mengingat visa mereka yang akan berakhir esok harinya. Harganya yang sekitar empat juta rupiah per orang pun terasa sangat mahal untuk mereka. Karena mereka hanya membawa uang saku sekitar dua juta rupiah per orang. Saya mnyarankan untuk meminjam teman mereka untuk kirim uang ke rekening bank mereka. Sayangnya, taksatupun dari mereka membawa rekening Bank. Saya pun secara sukarela menawarkan menggunakan rekening saya untuk mereka kirim uang. Mereka tetapi menolak menggunakannya.

Saya pun kembali memikirkan masalah saya. Akhirnya saya putuskan untuk tetap ke Iran jika harga tiket masih di bawah lima juta rupiah. Saya pun memutuskan untuk menuju agen perjalanan setelah melihat alamat dengan naik rickshaw atau Bajaj. Akhirnya saya mendapatkan tiket pulang pergi Kolombo-Tehran seharga 4,8 juta rupiah untuk penerbangan jam sembilan malam nanti, dengan penerbangan yang sama dengan penerbangan kemarin.

Jam menunjukkan pukul empat sore, saya bergegas kembali ke hostel untuk merapikan barang saya dan mencoba untuk menemukan solusi untuk saudara-saudara saya tadi.

“Mas, jadi beli tiket?” Tanya mereka
“Jadi mas! Alhamdulilah, harganya masih bisa saya bayar.” Jawab saya. “Jadinya bagaimana mas? Mau pulang ke Indonesia apa lanjut ke Turki? Saya bisa bantu sampai pukul tujuh saja nih mas soalnya saya akan terbang pukul sembilan malam. Mari saya antarkan ke pihak Turkish Airlines untuk menjelaskan semua, siapa tau ada jalan keluar semua.” Tambah saya.

Gapapa mas! Mas berangkat saja. Kami masih mencoba menghubungi rekan kami bagaimana. Lagipula kami tidak punya uang buat beli tiket ke Indonesia. Kami juga tidak mau merepotkan keluarga atau teman di Medan. Kami sudah bilang ke semua orang mau ke Turki. Tidak enak juga mas.” Salah satu dari mereka berkeluh kesah.

“Saya doakan mas nanti terbang selamat sampai Iran dan balik lagi ke Indonesia. Mari saya antar mas ke Bandara. Terima kasih telah menemani kami selama ini di Sri Lanka. Kalau tidak ada mas, mungkin kami masih luntang-lantung di Bandara. Lagian mas juga buru-buru juga.” Ujar salah satu menambahkan.

yasudah kalo begitu. Nanti tetap kabari saya apa yang terjadi. Saya tidak enak hati meninggalkan kalian di sini sendiri. Tuliskan nomer telepon seluler kalian biar bisa saya kirim pesan melalui whatsapp!.”

Mereka saling menatap satu sama lain, dan dia pun bilang, “Nomer mas saja saya simpan, lupa saya nomer telepon saya. Biar nanti saya kabari.” Ujarnya

Saya pun menuliskan nomer saya ke perangkat mereka. Saya sedikit aneh melihat perkataan mereka yang terkesan tidak mau memberikan informasi nomer telepon seluler mereka. Saya pun berfoto bareng, foto yang sampai sekarang masih terngiang di otakku dan selalu bertanya-tanya apa kabar mereka, saudara-saudaraku. Apakah mereka sudah di Medan dan melakukan perjalanan ke Turki atau kemana lagi. Saya harap semoga yang mengenal mereka, bisa menuliskan infornya kepada saya. 

Saya pun diantar dari mereka ke bandara, dan sala merasa bersalah meninggalkan mereka sendiri, dan sampai sekarang masih bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka. 

Meskipun tiket pulang pergi sudah ditangan, saya masih saja dilarang terbang dengan alasan tidak memiliki penerbangan kembali ke Indonesia. Saya pun segera menghubungi teman saya untuk membelikan saya tiket Kolombo-Jakarta. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya berhasil menghubunginya dan segera dilakukan pembayaran. Konter check in sebenarnya sudah ditutup, tetapi satu petugas ramah ini menunggu saya dan akhirnya diberikan boarding pass saya. Saya berlari menuju gerbang keberangkatan. Petugas QR berteriak-teriak “DOHA, DOHA! HURRY UP! HURRY UP!” 

Dengan napas yang terengah-engah saya mencari kursi saya. Saya kira saya adalah penumpang terakhir, ternyata masih ada dua turis dari negara Tiongkok yang baru masuk, yang ternyata turis yang saya lihat sedang asyik berbelanja sekita saya berlari-lari. Yasudahlah, drama sesi telah berakhir dan drama-drama berikutnya telah menanti. Semoga untuk perjalanan berikutnya tidak melakukannya dari Bandara Bandaranaike, sudah cukup sudah.


Dan buat kelima mas-mas tadi! Semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu kembali.
-selesai-

5 komentar:

  1. duh jadi penasaran sama kelima abang2 itu deh. mereka enggak kontak dirimu sama sekali?

    .: Efi :.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Aku juga menanti-nanti kabar, belum ada juga. Semoga mereka sukses di Medan sana hgehhe

      Hapus
  2. apakabar lima sekawan tadi yaa? :o

    BalasHapus
  3. ya ampun itu abang2 drama banget yaaaa hahahha ... anyway, ceritanya seruuuu ... keep on writing yaaaaa.

    BalasHapus